Dulu

18.47 | 4 Comments

Kamu menyeruput cappuccino pesananmu, sangat menikmatinya.

"Apa kabar?" Tanyamu.

Aku tersenyum, menganggukan kepala, "Baik."

Aku berani mengaku pada seluruh dunia, satu tanya 'apa kabar' tadi, sudah menghempaskan rinduku terbang ke angkasa.
Berlebihan? Tidak mengapa.
Apa peduliku pada orang lain.

"Kamu masih suka hujan?" Tanyamu lagi.
Aku menoleh ke kaca restoran, di luar sedang hujan.
Aku tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala, terlalu canggung.

Ah, tidak. Bukan canggung sebenarnya.
Hanya saja, dadaku terlalu bergemuruh. Di sana, rindu, luka, kenangan, cinta, terlalu ramai berlalu-lalang.
Aku hanya takut riuhnya menjalar keluar dan menjelma menjadi suara yang bergetar dan tingkah yang salah.

Kamu melepaskan jam tangan, jaket yang kamu kenakan.
"Ayo kita ulang kenangan kita dulu." Katamu menarik lenganku.

Kenangan? Katamu?
Ya, kenangan.

Kenangan 2 sahabat yang telah lama terpisahkan, dan lucunya, satu diantara mereka menyukai sahabatnya sendiri. Aku.

Kita berlarian di taman di samping restoran, membiarkan hujan menghantam pakaian kita.

Kamu terlihat tampan sekali ketika berbasah-basah seperti ini. Sangat tampan, berkharismatik.

Aku membalikkan telapak tangan dan mengangkatnya ke atas, memungut bulir-bulir hujan, lalu membuangnya ke wajahmu.
Kamu tertawa. Bahagia.

"Kita sudah lama tidak melakukan ini." Katamu.
Aku hanya mengangguk.

Memang sudah lama sekali kita tidak melakukan ini.
Terakhir kalinya 3 tahun yang lalu, saat kamu memberitahuku, bahwa kamu mendapat beasiswa ke Australia.

Aku masih ingat betul kejadian itu.
Aku menangis saat itu, dan kamu mengajakku bermain hujan, kebetulan sedang hujan di luar.

"Biar hujan hantam airmatamu, dan mengubahnya menjadi tawa." Katamu saat itu.

Kamu mengusap wajah.
"Kamu menggigil?" Tanyamu.
"Sedikit." Jawabku.

Entahlah, aku memang sudah lama tidak bermain hujan, tidak terbiasa lagi dengan dingin airnya.

Kamu mengajakku kembali masuk ke restoran.
Tidak apa-apa kita berbasah-basah di dalamnya, orang-orang restoran itu sudah cukup mengenal kita.

Aku duduk di kursi tadi, setelah kamu memasang jaketmu di tubuhku.

Aku melihatmu berbincang dengan salah satu pelayan restoran.

"Aku telah memesan coklat hangat untukmu, bill-nya sudah ku bayar. Aku harus pergi, seseorang telah menungguku." Bisikmu.

"Siapa?" Tanyaku penasaran.
"Dia. Nanti ku kenalkan padamu, kamu memang harus mengenalnya." Jawabmu.

Kamu tersenyum, tulus, dan berjalan pergi.

Tiba-tiba saja aku merasa nyeri. Nyeri di dada bagian kiri.

Dia yang kamu ceritakan pasti beruntung berada di dekatmu.

Mendapat perhatianmu, seharian tertawa bersamamu, menghabiskan waktu, seharian penuh.
Beruntung sekali. Tapi aku pun pernah berada di posisi seberuntung dan semenyenangkan itu. Dulu.

Baca Juga Yang Ini Yah :


4 komentar:

Dwi Ananta mengatakan...

Ahh cerpennya bagus :)

Nunuu mengatakan...

@dweedy: Hehe :)
Thanks ya sudah berkunjung. :)

Namarappuccino mengatakan...

Waaa suka yang ini dek. Ini cerpen terbaik dek Nunu :)

Nunuu mengatakan...

@namarappuccino: Hehe :)
Makasih kak Erick.
Tapi, masih harus terus belajar, hehe :D

Posting Komentar