Beberapa hari yang lalu, sayang.

(Ah, maaf. Lagi-lagi aku keceplosan memanggilmu sayang)

Aku terbangun dengan berceceran iler, kopi yang masih tersisa, tertumpah di ranjang.
Kalau kamu ada di sini, kamu pasti akan langsung mengganti sprei ranjang itu, menyuruhku bergegas mandi, lalu mengomeliku seharian, bahkan saat kita sedang menikmati sarapan.

(Itu, seandainya kamu ada di sini. Dan sayang sekali, tidak)

Lalu, aku bergegas membuka jendela kamarku yang menghadap langsung ke taman belakang, berharap sinar terang matahari membuatku sedikit bersemangat.
Namun sayangnya, sisa hujan tadi malam membuat pagi terlambat datang. Awan mendung pun masih senang menjahili matahari dengan menutup sinarnya.

Lalu kemudian, aku bertanya-tanya dalam hati, "Apa di tempatmu juga pagi terlambat datang?"

"Konyol." Kamu pernah bilang begitu saat aku bertanya sesuatu yang aku tahu, tidak pernah ada jawabannya.

Dan sekarang, aku melakukan hal konyol itu lagi.

Kalau kamu ada di sini, kamu pasti akan langsung memukul lenganku, lalu kemudian merasa bersalah, dan memelukku dari belakang dengan manjanya.

(Aku selalu suka ketika kamu melakukan itu. Hanya sayangnya, lagi-lagi kamu sedang tidak di sini)

Hari ini, bukan pagi yang terlambat datang. Tapi aku yang terlambat pulang.
Langit menghalangiku dengan menjatuhkan air mata buayanya.
Kamu tahu kenapa? Karena beberapa menit yang lalu, aku masih melihat matahari bertengger di pertengahan langit, dan masih tersenyum manis kepadaku. Jadi konyol sekali kalau tiba-tiba langit menangis. Benar kan?

Aku memaksakan diri untuk pulang, memaksa motor bututku melaju di atas aspal yang di tutupi genangan air. Karena, kalau kamu ada di sini, kamu akan melarangku di luar rumah saat hujan.

"Hujan itu pembawa penyakit, dan macet. Tidak pernah romantis." Itu katamu dulu.

Iya, aku tahu. Kamu benci film-film atau sinetron-sinetron yang selalu menggambarkan bahwa hujan itu romantis. Benar kan? Aku masih ingat.

Tapi motor dan diriku sendiri, tidak mampu tahan berhujan-hujanan.
Jadi aku memutuskan untuk berteduh.

Jam 5 sore, tepatnya saat itu. Tapi malam terlihat lebih cepat datang.

Lalu kemudian sebuah pertanyaan kembali menggelitikku.
"Apa di tempatmu juga sedang hujan? Ataukah, sinar matahari sore yang seterang bola matamu masih bersedia menemani langit?"

Sekali lagi, konyol kan?

Haha!
Tapi kamu suka aku yang begitu.

Kamu pernah bilang. Kamu jatuh cinta pada tingkah konyolku.
Kamu selalu merasa sesuatu mengiris dadamu, ketika tidak melihat tingkah konyolku, satu hari saja.

Masihkah?

Apa dadamu sudah penuh luka sekarang? Bertahun-tahun ketika kamu tidak lagi melihat tingkah konyolku?

Begitukah?

Baca Juga Yang Ini Yah :


6 komentar:

Namarappuccino mengatakan...

Bener-bener nih dek Nunu. Tulisannya selalu bertambah bagus. *jempol*

Nunuu mengatakan...

Makasih, kak. Berkat bimbingan kakak juga. :)

fauziyah mengatakan...

nice story, :)

Nunuu mengatakan...

Makasih. :)

Bintang Dandelion - Widie mengatakan...

teringat sesuatu pas baca posnya.. -__-"

__Apa dadamu sudah penuh luka sekarang? Bertahun-tahun ketika kamu tidak lagi melihat tingkah konyolku?

Begitukah? ___

sepetinya begitu..#lho
^_^
*Salam kenal*

Nunuu mengatakan...

Dan saya juga teringat sesuatu saat menulisnya. :D
Salam kenal kembali. ^^

Posting Komentar